Nilai-Nilai Filosofis Pesta Guro-Guro Aron dalam Budaya Karo

oleh
Sepasang muda mudi Karo sedang menari sebagai salah satu ciri khas kesenian Suku Karo. (Istimewa)

POSMETROMEDAN.com – Guro-guro Aron sebagai bentuk kesenian yang hanya terdapat pada masyarakat Karo mempunyai konteks, fungsi, dan struktur sendiri sehingga keberadaanya sebagai salah satu ekspresi budaya dan siklus aktivitas masyarakat Karo adalah sesuatu hal yang penting.

Hal itu dapat dilihat dari sudut perilaku sosial, religi, adat, transformasi nilai-nilai, pendidikan ekonomi, dan hiburan.

Pelaksanaan guro-guro aron pada awalnya berkaitan dengan siklus pertanian yaitu khususnya setelah masa panen berakhir. Perayaan pada masa akhir panen ini disebut kerja tahun (pesta tahunan).

Di samping pesta tahunan sebagai salah satu konteks pelaksanaan, guro-guro aron merupakan acara yang bersifat meriah untuk kalangan muda-mudi. Dalam pelaksaan guro-guro aron ini, anak perana (pemuda) dan singuda-nguda (pemudi) juga belajar etika atau tata krama pergaulan hidup dengan sesamanya.

Muda-muda belajar mengikuti adat dalam hal “ertutur” (cara menentukan hubungan kekerabatan berdasarkan marga). Adanya acara guro-guro aron juga mempertemukan pemuda-pemudi dalam perjodohan.

Begitu pula orang tua, saling memperkenalkan anak-anaknya sehingga kekerabatan semakin erat. Jika terdapat persoalan di tengah keluarga, saat Kerja Tahun juga dianggap waktu yang baik untuk menyelesaikannya.

Guro-guro aron sampai sekarang masih sangat eksis dalam masyarakat Karo, hanya saja bentuk pelaksanaan mungkin sudah berubah seiring berkembangnya jaman dan pola pikir masyarakat Karo sendiri.

Guro-guro aron sebagai suatu bentuk kebudayaan mempunyai nilai-nilai filosofis yang juga menjadi alasan mengapa kebudayaan ini masih eksis sampai sekarang. Pertama, nilai-nilai budaya: nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai satu cara hidup dan dianut pada setiap kelompok.

Bagi orang Karo acara guro-guro aron ini adalah bentuk nilai budaya yang harus dipertahankan oleh suku Karo karena banyak memberikan manfaat di dalam masyarakat.

Kedua, nilai-nilai religiusitas: nilai religiusitas pemaknaan dari acara guro- guro aron tersebut pun menjadi sebuah cara untuk tetap saling mempererat ikatan kekerabatan keluarga dalam sebuah tradisi tahunan. Guro-guro aron adalah sebuah aktivitas religi masyarakat petani sub etnis Karo yang diselenggarakan setahun sekali atau merupakan kebudayaan Karo yang dilestarikan sampai sekarang.

Ketiga, nilai-nilai gotong royong yang sudah lama tertanam pada diri masyarakat Karo. Pada dasarnya masyarakat Karo mengenal sikap gotong-royong dalam hal bercocok tanam, yang dalam bahasa Karo disebut raron. Dalam hal ini sekelompok orang yang bertetangga atau berkerabat secara bersama-sama mengerjakan tanah pertaniannya dengan cara bergiliran.

Guro-guro aron yang di kenal sekarang merupakan hasil perkembangan dari aron (gotong royong dan bekerja sama di ladang orang lain). Aron ini sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian: aron tanggung yang berarti yang pekerjaannya tidak terlalu berat dan aron belin artinya pekerjaan yang berat seperti mencangkul ladang.

Para pekerja bekerja dari pagi-pagi sampai siang kemudian berhenti. Karena sudah merasa letih. Supaya orang tidak merasa tidak terlalu letih, maka dimintalah sekalak singuda-nguda (seorang gadis) untuk menari dan bernyanyi.

Nilai-nilai filosofis dalam budaya guro-guro aron bukanlah sekedar penilaian subjektif belaka dari pandangan filososfi, melainkan nilai-nilai itu sendiri lah yang dihidupi masyarakat Karo, sehingga budaya ini bahkan menjadi simbol kekerabatan dalam masyarakat Karo. Oleh sebab itu, nilai-nilai filosofis yang telah dipaparkan diatas diharapkan dapat dipahami oleh setiap masyarakat Karo, khususnya para kaum muda agar semakin mencintai tradisi budaya mereka. (*)

Biodata Penulis:
Nama: Boni Lunasius Karo-karo
Status: Mahasiswa UNIKA St. Thomas Medan Fakultas Filsafat dan Teologi
email: bonikaro78@gmail.com