Sejarah Candu di Kota Medan, Dijual Bebas di Glugur

oleh
Pemadat di Jawa sekitar tahun 1870.(ISTIMEWA)

POSMETRO-Jauh sebelum kedatangan Belanda, opium banyak digunakan oleh orang-orang di Sumatera Timur.

Konsumsi opium yang terkenal dengan candu ini makin meningkat sejak Belanda membuka perkebunan Tembakau Deli dan menjualnya secara bebas dan legal.

Awal sebelum kedatangan Belanda, bisnis penjualan opium dijalankan oleh raja-raja lokal pribumi.

Para raja lokal itu juga mengkonsumsi opium. Penggunaan opium merupakan gaya hidup para bangsawan lokal.

Sementara masyarakat golongan menengah ke bawah, menggunakam opium saat acara perayaan dan hari-hari besar.

Opium diperkenalkan oleh saudagar Arab. Mereka membawanya dari Levant (Turki), Pakistan, Afganistan dan Bengal (India).

Seorang petani opium sedang memeriksa tanamannya di distrik Chargarhar, Provinsi Nangarhar, Afganistan.(NOORULLAH/AFP)

Peredaran diawali dari Penang dan Singapura lalu selanjutnya ke Sumatera Timur.

Sebelum pemerintahan kolonial masuk ke Sumatera Timur, kelompok yang dinamai The Big Five Penang memasok opium ke Deli melalui Asahan.

Kemudian para bandar opium datang dari dataran tinggi dan rendah lalu bertemu di Asahan.

Mereka melakukan transaksi pembelian opium dan mengedarkannya mulai dari Labuhanbatu, Langkat, Binjai, Deli, Simalungun, Serdang hingga Tanah Karo.

Selama periode pemerintah Kolonial Belanda tahun 1868, opium tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah lokal.

Belanda menyerahkannya kepada orang-orang Tionghoa. Opium diperdagangkan melalui sistem tender.

Sejarah candu di Medan tidak bisa dilepaskan dari peran dua bersaudara Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian.(ISTIMEWA)

Perdagangan melibatkan Dewan Tionghoa dan bandar lokal serta diawasi pejabat kolonial.

Penawaran dilakukan di Batavia atas izin kolonial di Deli. Pemenang lelang berhak mengedarkan opium di wilayahnya.

Opium kemudian diteruskan kepada orang ketiga dan sebagian dilelang oleh pengusaha lainnya yang menjadi bandar-bandar kecil di wilayahnya.

Kemudian opium dijual melalui loket resmi oleh petugas pemasaran yang disebut Mantri Candu.

Sementara itu, banyak juga opium illegal yang tidak diperjualbelikan. Pemasoknya tetap sama sama, yaitu The Big Five Penang melalui jalur Asahan.

Namun untuk mengamankan usahanya dari kejaran pemerintah Kolonial, mereka tidak lagi menggunakan jasa bandar lokal yang dibekingi para raja-raja setempat.

Tetapi dengan pemimpin Tionghoa yang dekat dengan pemerintah Kolonial Belanda.

Permainan ini menyebabkan rasa tidak suka dan iri dari para pemain lama opium dari kalangan pribumi.

Para raja lokal tidak lagi mendapat keuntungan memonopoli karena kehadiran orang-orang Tionghoa itu.

Akibatnya, kerap terjadi konflik antara para pemimpin rakyat dengan orang-orang Tionghoa.

Salah satu kasus terjadi pada tahun 1872. Orang Tionghoa pemegang hak monopoli opium di Hamparan Perak, ditangkap oleh para pemimpin setempat.

Di Hindia Belanda, pabrik opium dibangun tahun 1902, tepatnya di Salemba Jakarta.

Pabrik Opium di Jalan Kramat Batavia.(Foto: KITLV)

Bahan baku diimpor dari Pakistan, Afganistan dan Bengal. Dari Batavia, opium olahan (breid opium) didistribusikan ke seluruh daerah termasuk Medan.

Penjualan dikenai retribusi daerah, keresidenan dan negara. Pemerintah swapraja mendapat insentif di daerahnya.

Di Deli, opium adalah penyumbang 8 persen devisa negara.

Saat Belanda membuka tembakau Deli, mereka mulai memprioritaskan perdagangan opium kepada kuli kontrak yang bekerja di sepanjang perkebunan.

Setiap ibu kota kecamatan dan daerah perkebunan di Deli, terdapat loket atau kedai resmi penjualan opium.

Salah satu tempat penjualan bebas di Perkebunan Glugur yang saat ini dikenal sebagai Kelurahan Glugur, Kecamatan Medan Barat.

Sebuah rumah yang menjual bebas candu di Perkebunan Glugur (sekarang Kelurahan Glugur) pada masa itu.(Foto: KITLV)

Meraka membelinya secara bebas.

Sekadar pengetahuan bagi kita, opium berasal dari tanaman Poppy (Papacer Somniverum) sejenis bunga.

Getah Poppy diolah menjadi serbuk dan mengandung zat adiktif.

Opium dikonsumsi dengan cara dirokok menggunakan pipa hisap atau dilinting dengan campuran lain.

Opium mengandung zat adiktif untuk menambah kekebalan tubuh, mengurangi rasa sakit atau akibat luka.

Selain itu dapat menimbulkan halusinasi yang mengarah pada khayalan eksotisme.

Opium mengandung morfin. Orang-orang Deli lebih akrab menamakan opium sebagai candu atau madat.

Menghisap opium kemudian menjadi life style pada zaman itu.

Sebuah simbol tingginya derajat status bila dalam acara-acara tertentu, jika tuan rumah bisa menyajikan opium untuk dihisap para tamu.

Semantara dalam jamuan yang lebih mewah, tuan rumah akan mengadakan pesta candu bagi tamu-tamu terhormat.

Mabuk madat ini juga dilengkapi hiburan penari dan musik pengiring.

Candu tidak hanya dikonsumsi oleh orang kaya dan para bangsawan.

Para bandar putar otak agar masyarakat miskin bisa ikut mabuk.

Para bandar yang dibekingi oleh Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memusatkan sasarannya kepada kuli kontrak di Perkebunan Tembakau Deli.

Bagi kalangan kuli kontrak, opium atau candu sangat diperlukan.

Sebab efeknya bisa meningkatkan kekebalan tubuh dan menghilangkan rasa sakit.

Selain itu, candu menjadi pilhan untuk mengurangi penderitaan akibat beratnya pekerjaan di perkebunan.

Ada yang menyebutkan candu justru bisa meningkatkan vitalitas pria.

Justru hal ini memberikan dampak positif bagi kuli perkebunan karena Belanda banyak menyediakan rumah pelacuran.

Tanpa disadari, Belanda memanfaatkan opium untuk memiskinkan kuli kontrak.

Belanda ingin mereka bertahan dan memperpanjang kontrak.

Para tuan kebun Belanda mempersulit ijin keluar dari perkebunan ataupun sekadar cuti.

Meraka tidak ingin kuli-kuli kontrak itu melarikan diri.

Biasanya cara Belanda adalah memikat para kuli saat mereka gajian di awal bulan.

Mereka menggelar pertunjukan wayang, ronggeng hingga teater Tionghoa. Selain itu, mereka menggelar judi dadu.

Barak-barak tempat pelacuran dibuka. Kedai-kedai kelontong kemudian menjual opium secara bebas.

Setiap awal bulan itulah para kuli sangat senang. Mereka berfoya-foya.

Para pemilik kebun berperan untuk meminjamkan uang kepada mereka yang telah kehabisan uang karena foya-foya.

Mereka dibuai tanpa sadar. Maksud Belanda agar mereka hidup melarat dan harus membayar utang.

Mau tidak mau mereka harus memperpanjang kontrak lagi di perkebunan.

Obat penenang bernama opium ini sangat disenangi oleh para kuli, terutama yang berasal dari Tiongkok.

Bagi mereka menghisap candu adalah cara melepas penat setelah bekerja seharian.

Namun kenyataanya, penggunaan candu setiap hari malah menyebabkan ketergantungan yang melemahkan fisik.

Ketergantungan candu inilah yang membuat kuli harus terus berutang karena mereka sangat membutuhkannya setiap hari.

Akibatnya sama, mereka diharuskan bertahan dengan memperpanjang kontrak.

Pemerintah kolonial memakai opium untuk kepentingan politik dan usahanya di Medan.

Hal ini tidak disadari masyarakat Medan saat itu.

Di zaman sekarang, opium banyak beredar dikemas dalam bentuk narkoba jenis lain.

Walau tidak seperti dulu yang dianggap barang legal dan dipasarkan bebas, narkoba zaman sekarang adalah barang ilegal yang menyalahi hukum negeri ini.

Kita harus selalu berhati-hati, motifnya tetap sama.  Narkoba adalah cara bangsa lain menghancurkan bangsa ini.(*)

 

SUMBER: Berbagai Sumber

EDITOR: Sahala Simatupang