POSMETRO MEDAN – Pasangan calon bupati dan wakil bupati Karo nomor urut 1, Abetnego Tarigan dan Edy Suranta Bukit, menyampaikan strategi dalam menurunkan indeks ketimpangan gender di Kabupaten Karo.
Ini dilakukan jika terpilih sebagai kepala daerah pada Pilkada Karo 27 Nopember 2024 mendatang.
Strategi tersebut dipaparkan di segmen kedua pada debat ketiga calon bupati dan wakil bupati Karo yang digelar KPU di Hotel Internasional Sibayak Berastagi, Jumat (15/11/2024). Topik ketimpangan gender mengemuka dari salah satu sub tema debat yakni mengelola potensi konflik sosial di Karo.
Dalam paparannya, Abetnego menyebut bahwa salah satu tantangan terbesar dalam indeks ketimpangan gender adalah praktek diskriminasi yang masih terjadi, baik di bidang pekerjaan maupun di beberapa bidang usaha lainnya.
“Dalam konteks kita di Indonesia, sering sekali praktek diskriminasi ini masih terselubung. Dalam peraturan disebutkan bahwa diperlakukan tanpa diskriminasi. Akan tetapi, di dalam prakteknya masih ada praktek-praktek diskriminasi tersebut,” ungkap Abetnego.
Mengatasi persoalan itu, pada sektor pemerintahan, Abetnego memastikan pihaknya akan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menduduki jabatan dan posisi di dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Di bidang usaha, kata Abetnego, pihaknya akan mendorong kesempatan bagi perempuan dalam keterlibatannya di dunia usaha dan dunia kerja yang setara dengan laki-laki.
“Pada sektor pendidikan, ini merupakan satu hal yang penting. Pemahaman soal kesetaraan gender ini harus dimulai bagaimana di dunia pendidikan juga diperlakukan dan diberikan pemahaman yang kuat tentang pentingnya kesetaraan gender di dalam pembangunan nasional,” jelas Abetnego.
Ia juga mengungkap, ada banyak isu lain yang menyebabkan terciptanya berbagai ketimpangan yang terjadi. Misalnya, kata dia, perempuan yang haid tidak dibayar gaji atau tunjangannya serta tidak diberikan kesempatan untuk cuti dan sebagainya. Ia menilai, praktek seperti ini harus segera dihentikan.
“Tak kalah penting dalam kesetaraan gender ini adalah peran dari organisasi keagamaan yang ada. Ini untuk mengangkat agar problem-problem yang menciptakan ketimpangan, baik karena kultural, pendidikan dan pemahaman masyarakat, bisa kita selesaikan,” paparnya.
Dalam upaya penurunan indeks ketimpangan gender, Abetnego mengungkap bahwa ada tiga situasi yang tengah dihadapi yakni, kultur kebudayaan, edukasi dan policy atau kebijakan.
Terkait kultur yang menjadi salah satu tantangan, Abetnego mengapresiasi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang sudah sejak puluhan tahun lalu melaksanakan program pemberdayaan perempuan melalui Kursus Wanita Karo atau KWK.
“KWK GBKP harus kita apresiasi. Bagaimana mengedukasi perempuan-perempuan Karo untuk bisa mengambil peran di dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan di Kabupaten Karo,” ucap Abetnego.
Secara edukasi, lanjutnya, pentingnya pemahaman kesetaraan gender harus dimulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Menurut Abetnego, tidak bisa dipungkiri bahwa pelaku-pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga banyak yang berpendidikan tinggi.
Dari sisi kebijakan, ia menerangkan bagaimana pola rekrutmen, model-model pembangunan dan fasilitas-fasilitas yang diberikan termasuk fasilitas-fasilitas ramah gender, memang sangat penting. Karena, kata dia, ini semua berkaitan dengan kebijakan yang ada.
“Oleh sebab itu, kami menegaskan kembali tiga ruang tadi yakni kultur, edukasi dan kebijakan merupakan garis kebijakan kami nantinya serta bagaimana memastikan bekerja sama dengan para pihak atau stakeholder yang ada di Kabupaten Karo,” ujarnya.(mrk)
EDITOR : Rahmad