Posmetromedan.com – Senyum sumringah menghiasi wajah para bocah, yang sedang berpuasa di akhir Ramadhan 1445 Hijriyah ini, khususnya di Tapanuli Selatan (Tapsel). Ada rasa bangga dan bahagia. Sambil menenteng daging dan tulang, hasil pembagian secara lotre dari proses ‘Marhandel’, yang merupakan tradisi (budaya) di Tapsel jelang Lebaran.
Pemandangan ini, sangat mudah ditemui disetiap sudut Tapanuli Selatan (Tapsel) bahkan Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel). Mulai dari kawasan padat penduduk, hingga kepelosok sekalipun. Suasana Marhandel, menjadi bentuk kesyukuran atas kemenangan menuju ‘Hari nan Fitri’, setelah sebulan mampu mengendalikan diri dan hawa nafsu lewat Puasa Ramadhan.
Marhandel memiliki makna menyembelih hewan berupa kerbau atau lembu, secara kongsi atau berkelompok. Prosesnya dilakukan secara bersama atau kelompok, mulai dari mengumpul biaya untuk membeli hewan, menyembelih, mencacah hingga membagi sesuai jumlah anggota terdaftar, dan dilakukan secara bersama, gotong royong dan terbuka. Marhandel ini identik dilakukan sehari srbelum Lebaran.
Dari hasil penelusuran wartawan media ini, Selasa (9/4/2024) hampir disetiap sudut pemukiman warga baik dusun, lingkungan, di kawasan padat penduduk hingga kepelosok, tradisi ‘Marhandel’ tetap lestari.
Seperti halnya di Lingkungan Lumban Lobu, Kelurahan Arse Nauli, Kecamatan Arse. Tradisi tahunan ini digelar di halaman Mesjid Raya Al Muhtadin, Lumban Lobu, Arse Nauli.
“Tradisi Marhandel, merupakan salah satu tradisi secara turun temurun ditengah kehidupan masyarakat. Ini (Marhandel) adalah tradisi yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, hingga saat ini,” ungkap Sahdani Pane salah seorang tokoh masyarakat Lumban Lobu, pada wartawan media ini, Selasa (9/4/2024).
Seperti biasanya sambung Pane, dengan mengumpulkan uang dari beberapa orang yang telah mendaftar, uang itu dibeli seekor kerbau lalu disembelih dan kerjakan secara bersama dan dibagi rata secara tranparan dan terbuka.
“Nuansanya sangat berbeda jika dibandingkan dengan membeli daging dipasar,” terangnya.
Bahkan, bagi warga Marhandel telah menjadi penyemangat bagi setiap orangtua. Untuk lebih giat dalam mencari rizki, terlebih jelang Lebaran. Sebab, jika tak ikut Marhandel dan tak menerima bagian daging dan tulang hewan yang disembelih, sehari sebelum Lebaran, suasana di rumah akan hambar. Seolah tak ikut berlebaran, terutama pandangan dari anak dan cucu.
“Budaya ini sudah turun menurun sejak lama. Jika kita tak ikut Marhandel bisa ngambek anak cucu di rumah. Seperti tak ikut lebaranlah bagi mereka. Karena menunggu pembagian handel dan membawanya pulang ke rumah, menjadi kebahagiaan dan kemenangan bagi mereka,” ungkap Syahrial Simatupang (59) salah seorang warga yang juga peserta.
Hal serupa juga diutarakan Indra Muda Rambe (45). Menurutnya, lewat tradisi ‘Marhandel’ justru terbina dan lestarinya hubungan silaturahmi diantara sesama peserta, baik yang tinggal di kampung maupun dari perantauan. Selain itu, semangat bergotong royong juga ikut terpelihara. Dimana, dalam mengerjakan proses ‘Marhandel’ dari penyembelihan, pembersihan hingga pembagian yang disaksikan secara bersama, dilakukan secara gotong royong.
“Lewat tradisi Marhandel ini juga menjadikan silaturahmi sesama penduduk, baik yang tinggal dikampung halaman maupun dari perantauan semakin dekat. Juga mampumenghidupkan kembali budaya gotong royong,” ungkapnya, seraya menjelaskan, harga satu handel di kelompok merea (1 bagian) adalah Rp 600.000,-. Masing-masing peserta menerima total 6 kilogram untuk daging dan sup. (*)
Reporter: Amran Pohan
Editor: Maranatha Tobing