Ini Sejarah Lampu Merah-Putih-Biru Barbershop, Ternyata…

oleh

POSMETROMEDAN.COM-Bisnis barbershop memang sedang menjamur. Bak jamur yang tumbuh di musim hujan, barbershop kini terus bermunculan di kota-kota besar Indonesia.

Semacam kode, barbershop kompak memajang lampu bergaris merah putih biru di depannya. Benarkan?

Ternyata lampu itu punya sejarah yang panjang. Menurut Victoria Sherrow dalam buku Encyclopedia of Hair: Cultural History, lampu tukang cukur itu bermula dari peraturan Paus Urbanus II, si pencetus Perang Salib.

Gara-gara keputusan Paus Urbanus II pada 1092 itu, selama abad pertengahan, banyak tukang cukur bekerja di rumah-rumah ibadah di Eropa.

Dia menginginkan para biarawan hidup sehat dan dicukur bersih setiap saat. Ada larangan berjenggot.

Nah, di masa itu, para tukang cukur juga punya keahlian medis. Yakni pengobatan sedot darah dengan lintah.

Dasar pemikirannya, mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh yang dianggap sumber penyakit.

Seiring itu, di seantero Eropa bermunculan praktek tukang cukur. Cukup marak.

Mereka menyebutnya barbershop. Di samping mencukur, mereka melayani cabut gigi dan sedot darah.

Serikat Tukang Cukur

“Like other tradesmen and craftsmen, medieval barbers throughout Europe formed guilds,” tulis Victoria. “Barbers in France formed a trade group in 1096.” (Sebagaimana pedagang dan perajin lainnya, tukang cukur Abad Pertengahan di seluruh Eropa membentuk serikat. Tukang cukur di Prancis membentuk serikat pada 1096.)

Pada 1200-an, dua perusahaan besar tukang cukur, The Brotherhoods of St. Cosmos and St. Domain mendirikan sekolah tukang cukur.

Tak hanya mengajari memangkas rambut, sekolah itu juga mengajarkan prosedur teknik sedot lintah. “Di Paris dikenal sebagai chirurgists,” tulis Victoria.

Nah pada 1308, serikat pemotong rambut akhirnya muncul di London, Inggris.

Untuk meningkatkan kualitas dan kepuasan pelanggan, sebagaimana dikisahkan Victoria, Raja Inggris merekrut Richard le Barbour, seorang master tukang cukur dari Prancis.

Le Barbour bertugas memeriksa dan mendata tukang cukur mana yang memenuhi standar, dan mana yang tidak di wilayah London.

“Le Barbour melakukan inspeksi bulanan. Memastikan tukang cukur mengikuti aturan,” ungkap Victoria.

Dalam perkembangannya, tak sedikit tukang cukur yang ikut pelatihan standar ilmu bedah.

Alhasil, pada 1300-an, tukang cukur di Inggris terbagi menjadi dua. Yang satu berlatih standar ilmu bedah, dan satunya tidak.

Perbedaan itu nampak pada tiang di depan tempat praktek. Tiang milik tukang cukur bergaris biru-putih. Sedangkan milik tiang ahli bedah bergaris merah-putih.

Tiang bergaris merah putih untuk ahli bedah lantaran dalam prakteknya, si empunya barbershop punya kebiasaan menjemur perban bekas pakai yang berlumuran darah di sebuah tiang depan tempat prakteknya.

Karena ditiup angin, perban itu melilit tiang. Menimbulkan variasi merah putih. Lama kelamaan, itu menjadi pertanda.

Baru pada 1450, parlemen Inggris membuat aturan. Barbershop yang buka praktek cukur rambut, sedot darah, cabut gigi, perawatan luka dan bedah ringan, harus memiliki ijazah yang ditandatangani oleh dua tukang cukur terlatih dan dua ahli bedah.

Seiring itu, dibuatlah tiang putih dicat warna merah dan biru.

Putih menggambarkan perban. Merah aliran darah. Biru menggambarkan urat pembuluh vena.

Bulatan di atas tiang menggambarkan baskom tempat menyimpan lintah. Bulatan di bawah, baskom penampung darah.

Begitulah muasalnya. Dan, boleh percaya boleh juga tidak, Ambroise Pare, ahli bedah Kerajaan Prancis dan satu di antara bapak ahli bedah modern yang kesohor itu mengawali karirnya sebagai tukang cukur.(jpnn/jpg)