Banda Aceh – Meugang, sebuah tradisi yang menjadi warisan budaya masyarakat Aceh untuk menyambut bulan suci Ramadan tahun ini dihadapkan dengan situasi yang tidak seperti biasanya. Di tengah pandemi virus corona (Covid-19), tradisi ini diprediksi tidak akan seramai tahun-tahun sebelumnya.
Tradisi meugang–yang sudah ada sejak ratusan tahun itu–identik dengan makan daging sapi atau kerbau bersama, yang diolah dengan beraneka ragam masakan. Untuk mengikuti tradisi itu, warga tidak peduli dengan harga daging yang melambung tinggi hingga 50 persen dari harga normalnya.
Biasanya, H-4 sebelum Ramadan tiba, para penjual daging dadakan berjejer rapi dilokasi yang telah ditunjuk pemerintah setempat. Namun sekitar sepekan, ruang yang biasanya dipenuhi penjual daging dadakan itu masih kosong.
Tidak ada kerumunan warga yang memadati lapak penjual daging. Begitupun sebaliknya, jumlah penjual daging menurun drastis.
Kemudian, jika biasanya setiap pemerintah daerah di Aceh berlomba-lomba untuk menerbitkan surat imbauan tentang jadwal meugang, biasanya tiga sampai dua hari jelang Ramadan, kini berbalik. Beberapa pemerintah daerah justru sudah mengeluarkan imbauan untuk tidak menggelar tradisi meugang.
Dari informasi yang dihimpun CNNIndonesia.com, beberapa pemerintah daerah yang sudah mengeluarkan pernyataan tidak menggelar meugang menyambut Ramadan tahun ini adalah Kabupaten Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Kota Lhokseumawe. Alasan daerah-daerah tersebut adalah demi mencegah kerumunan warga di pasar agar mengantisipasi penularan virus corona.
Salah satu penjual daging di Pasar Lambaro, Aceh Besar, Safwa mengaku sudah merasakan jika tradisi meugang tahun ini tidak seperti yang ia bayangkan. Biasanya, sepekan jelang Ramadan daging yang ia jajakan ramai diminati, kini justru sepi pembeli.
“Sekarang orang malah takut ke pasar, takut corona,” kata Safwan, Sabtu (18/4).
Terkait tradisi meugang, Pelaksanatugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah juga masih ragu untuk mengambil kebijakan yang tegas soal pagelaran tradisi jual beli dan makan daging tersebut. Namun, Nova memberi angin segar bagi pedagang daging. Meugang tidak dilarang tapi harus memenuhi protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan menggunakan masker.
“Protokolnya sama saya pikir, tidak dilakukan meugang seperti biasanya,” ujar Nova Iriansyah.
Meskipun digelar, kata dia, pedagang dan pembeli harus betul-betul menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
“Ya sesuai protokol: jaga jarak, physical distancing, dan tidak berkerumun,” ucapnya.
Dari data Dinas Kesehatan Aceh yang diakses dari https://covid19.acehprov.go.id/, jumlah pasien positif corona di provinsi Serambi Makkah itu ada 7 per 19 April 2020 pukul 15.00 WIB. Dari jumlah itu, empat di antaranya sembuh dan 1 meninggal. Dan, jumlah pasien dalam pengawasan mencapai 59.
Berdasarkan data Kemenkes, per 19 April 2020 ada tambahan satu pasien positif di Aceh dari sehari sebelumnya sebanyak 6.
Sejarah Meugang
Ketua Rumoh Manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid, tak menampik bahwa Makmeugang atau Meugang adalah tradisi yang sudah dilakukan pada zaman kerajaan Aceh.
Dia menuturkan dahulu kala, Sultan Aceh secara turun-temurun memerintahkan Qadi Mua’zzam Khazanah Balai Silaturrahmi untuk mengambil dirham, kain-kain, kerbau, dan sapi untuk dipotong di hari meugang.
Itu semua kemudian lewat kepala desa masing-masing dibagikan kepada fakir-miskin, duafa, dan orang cacat masing-masing: daging, uang lima emas, dan enam hasta kain. Kebijakan tersebut termaktub dalam Qanun Meukuta Alam Bab II pasal 47.
“Itu merupakan cara Sultan menolong rakyatnya yang hidup melarat, sehingga sama-sama bisa menyambut Ramadan dengan hati nan riang,” kata Tarmizi.
“Rujukan sejarah tradisi meugang tetap pada Kerajaan Aceh Darussalam, seperti termaktub dalam Qanun Al Asyi,” imbuhnya.
Tradisi ini, lanjut Tarmizi tak pernah lekang hingga saat ini, karena masyarakat Aceh sangat kuat menjaganya. Dalam catatannya, tradisi makmeugang ini sudah terpelihara sejak 400 tahun lalu di kalangan masyarakat Aceh.
Di sisi lain, meugang memberi kesempatan kepada para dermawan untuk memberi sedekah kepada para fakir, miskin, duafa, dan lainnya agar mendapatkan hak yang sama dalam menyambut Ramadan.
“Menyambut bulan Suci Ramadan di Aceh memang sudah menjadi tradisi hal demikian, rasa suka cita baik kelompok sosial dalam masyarakat maupun sesama keluarga, makan bersama dengan daging yang segar-segar,” kata Tarmizi yang akrab disapa Cek Midi.
Oleh karena itu ia menegaskan meugang adalah tradisi dan warisan budaya yang sangat unik dan kuat di Aceh, di mana pada hari tersebut status sosial semuanya dianggap sama.(red)