Hati-hati Wacana BHR, Jangan Sampai Aplikator Tutup, Mitra Menganggur

oleh
Ilustrasi.

POSMETRO MEDAN – Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran berbasis platform digital di Indonesia, memahami semangat gotong royong dalam mendukung mitra di Hari Raya serta menghargai perhatian pemerintah terhadap Mitra platform digital.

Diberlakukannya kebijakan baru terkait Bantuan Hari Raya (BHR) ini berpotensi membuat pelaku industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang yang selama ini telah diberikan untuk Mitra.

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha menegaskan keberatannya jika regulasi dibuat tidak berimbang dan hanya mementingkan satu pihak saja.

“Namun, perlu diingat jika kebijakan yang diatur tidak berimbang maka berpotensi menimbulkan dampak ekonomi serius bagi industri berkembang yang memiliki ekosistem bisnis yang unik, dibandingkan sektor konvensional. Dalam praktiknya, pelaku industri on-demand masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengusahakan pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan,” tutur Agung dalam pernyataan yang diterima, Jumat (21/2/2025).

Ia menjelaskan bahwa kondisi saat ini, sektor platform digital (aplikator) telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini.

BACA JUGA..  RSUD Drs H Amri Tambunan Kejar Target Tipe A, BPJS Jadi KRIS

Agung memaparkan, berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel tersebut bahkan telah berkontribusi pada 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022.

“Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan tidak justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para mitra,” ungkapnya.

Selain itu, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6% bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.

“Artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini,” ucap Agung mewanti-wanti.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies, Yose Rizal Damuri (Naskah Kebijakan, Tenggara Strategics, 2023) menegaskan, bahwa perusahaan platform (aplikator) bukan berkedudukan sebagai pemberi kerja, tetapi hanya memfasilitasi pertemuan antara yang membutuhkan jasa dan yang menyediakan jasa. Namun, terdapat persepsi yang keliru bahwa perusahaan platform menyediakan lapangan pekerjaan sehingga secara tidak langsung menimbulkan citra seolah-olah mereka adalah pemberi kerja.

BACA JUGA..  Peduli UMKM, Syaiful Ramadhan Kembali Buka Kampoeng Ramadhan

Sejalan dengan pandangan Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Dirinya mengatakan, kebijakan yang berkaitan dengan industri platform digital seharusnya tidak dilihat sebagai regulasi terhadap bisnis tersendiri, melainkan sebagai bagian dari ekosistem yang mendukung sektor lain, termasuk UMKM, pedagang pasar, warung kelontong, serta industri skala rumah tangga.

“Setiap kebijakan harus mempertimbangkan kepentingan utama para pemangku kepentingan perusahaan aplikator, Mitra, konsumen, dan bisnis lain yang bergantung pada layanan platform digital. Jika tidak, regulasi ini berpotensi menghambat pertumbuhan digitalisasi nasional,” ujarnya.

Begitu juga dengan wacana untuk menjadikan pekerja ekonomi informal (gig worker) menjadi karyawan tetap. Tentunya, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berimbang dalam
penyusunan kebijakan terkait pekerja platform digital, serta perlu dilakukan perbandingan dengan pengalaman negara lain beserta dampaknya dalam membuat regulasi terkait pekerja ekonomi informal karena pasti berdampak pada fleksibilitas Mitra sendiri.

Dampak negatif dari kebijakan yang terlalu kaku terhadap platform digital antara lainl:

1. Pengurangan Jumlah Mitra

Regulasi ketat membuat platform sulit beroperasi, mengurangi jumlah mitra, dan berujung pada hilangnya pekerjaan bagi jutaan orang yang mengandalkan sektor ini sebagai sumber pendapatan utama.

BACA JUGA..  Kakek Ilham Tewas Digilas Truk di Pantai Labu

2. Kenaikan Harga Layanan

Kewajiban menjadikan Mitra sebagai karyawan menyebabkan kenaikan biaya operasional yang pada akhirnya diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga layanan yang lebih tinggi.

3. Berkurangnya Fleksibilitas Kerja

Banyak Mitra yang bergabung dengan platform digital karena fleksibilitas yang ditawarkan. Jika dipaksa menjadi karyawan tetap, mereka akan kehilangan kebebasan dalam mengatur waktu dan beban kerja mereka.

4. Dampak Negatif pada Ekosistem Bisnis Lain

Jika platform menghadapi kesulitan finansial akibat regulasi ketat, maka UMKM, restoran, pedagang kecil, dan bisnis lain yang bergantung pada platform ini juga akan terkena dampaknya.

5. Kemungkinan Gulung Tikarnya Aplikator

Jika biaya operasional meningkat drastis sementara permintaan turun akibat kenaikan harga layanan, beberapa aplikator dapat mengalami kesulitan finansial hingga harus menutup layanan mereka sepenuhnya.

Contohnya, di Spanyol, Deliveroo memilih keluar dari pasar karena regulasi yang tidak memungkinkan bisnis mereka beroperasi secara berkelanjutan. Hal ini bisa berdampak luas pada ribuan mitra yang kehilangan akses terhadap sumber penghasilan mereka. (red)

Editor: Ali Amrizal