Oknum Bupati di Sumut Jadi Tersangka KPK

oleh

JAKARTA–Di tengah pandemi virus korona baru (Covid-19), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan menetapkan seorang kepala daerah sebagai tersangka.

Adapun kepala daerah tersebut yakni berinisial KSS, seorang bupati di wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Penetapan tersangka terhadap oknum kepala daerah ini, menjadi penetapan tersangka untuk pertama kalinya terhadap seorang kepala daerah pada 2020.

Dikonfirmasi adanya penetapan tersangka ini, Wakil Ketua KPK Lili Pantauli Siregar mengaku belum mengetahuinya.

”Kasus lama ya, belum ada aba-aba (info penetapan tersangka) itu,” kata Lili ketika dikonfirmasi JawaPos.com, beberapa waktu lalu.

Dalam kasus ini, sebelumnya Tim Penyidik KPK pernah memeriksa KSS pada (20/8/2018).

Dia diperiksa terkait usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN-P 2018.

KSS diperiksa sebagai saksi untuk pejabat nonaktif Kementerian Keuangan Yaya Purnomo.

Usai diperiksa, KSS mengaku dicecar sembilan pertanyaan oleh penyidik lembaga antirasuah.

Kepada awak media KSS mengaku dicecar ihwal pengajuan proposal proyek pembangunan infrastruktur di kotanya.

Adapun proyek tersebut bersumber dari dana perimbangan daerah RAPBN-P TA 2018.

KSS membantah adanya permintaan ‘fulus pelicin’ dari Komisi XI DPR guna meloloskan pengajuan proposal pembangunan infrastruktur di kotanya.

Dalam kasus ini, Sebelummya, lembaga antirasuah juga menetapkan Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Amin Santono sebagai tersangka kasus korupsi.

Penetapan tersangka tersebut dilakukan, setelah sembilan pihak yang ditangkap Jumat (4/5), selesai dilakukan pemeriksaan dalam waktu 1×24 jam.

Selain Amin, penyidik juga menetapkan beberapa pihak lainnya, di antaranya Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman Ditjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu Yaya Purnomo, seorang pihak perantara atas nama Eka Kamaluddin, dan seorang kontraktor atas nama Ahmad Ghiast.

Atas perbuatannya, sebagai pihak penerima suap, Amin Santono, Yaya Purnomo, dan Eka Kamaluddin dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1KUHP.

Sementara sebagai pihak pemberi, Ahmad Ghiast Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1KUHP.

Seperti diketahui, tahun lalu, mantan Pegawai Kementerian Keuangan Yaya Purnomo divonis 6 tahun 6 bulan penjara dalam kasus suap dan gratifikasi.

Yaya juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider kurungan 1 tahun 15 hari.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Yaya Purnomo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama,” kata Ketua Majelis Hakim Bambang Hermanto saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin 4 Februari 2019.

Hakim menyatakan Yaya terbukti menerima suap senilai Rp 300 juta dari Bupati Lampung Tengah Mustafa melalui Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman.

Uang tersebut merupakan bagian terpisah dari suap yang diterima Anggota Komisi Keuangan DPR Amin Santono sebanyak Rp 2,8 miliar.

Amin divonis 8 tahun penjara dalam kasus ini.

Menurut hakim Mustafa memberikan suap kepada Amin supaya anggota DPR asal Fraksi Partai Demokrat itu mengupayakan Kabupaten Lampung Tengah mendapatkan alokasi anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus dan Dana Insentif Daerah pada APBN 2018.

Untuk tujuan tersebut, Amin kemudian bekerja sama dengan Yaya selaku Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah Kementerian Keuangan.

Selain menerima suap hakim menyatakan Yaya dan pegawai Kemenkeu lainnya, Rifa Surya, juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 6,529 miliar, USD 55 ribu dan Sin$ 325 ribu.

Menurut hakim, mereka telah memanfaatkan jabatannya untuk memberikan informasi terkait penganggaran DAK atau DID kepada sejumlah pejabat daerah.

Atas jasa yang diberikan, Yaya mendapatkan jatah dari total anggaran yang diterima daerah.

Dalam surat dakwaan jaksa terdapat delapan daerah yang menggunakan jasa Yaya, yaitu Kabupaten Halmahera Timur untuk DAK dan DID pada APBN-P 2017, Kabupaten Kampar untuk DAK Tahun Anggaran 2018 di bidang pendidikan, Kabupaten Tabanan untuk DID pada APBN TA 2018, Kota Tasikmalaya terkait DAK dan DID pada APBN 2018 dan, DID Tahun Anggaran 2018 untuk Kabupaten Karimun.

Selain itu jaksa menyebut ada Kota Balikpapan terkait pengurusan DID Tahun Anggaran 2018, Kabupaten Labuhanbatu Utara terkait pengusahaan DAK TA 2018 di bidang jalan dan kesehatan, serta Kota Dumai untuk pengurusan DAK pada APBN 2017, APBN-P 2017 dan APBN 2018.

Vonis Yaya Purnomo lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yakni 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.

Yaya menyatakan menerima putusan tersebut dan tidak mengajukan banding. Sementara jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan pikir-pikir.(*/ras)