Tuntutan Lae Gortik, masih membuat rasa bimbang menyelimuti hati Wak Labu. Sidang untuk menentukan dirinya bersalah atau tidak, segera digelar. Tak ada cara lain bagi Wak Labu untuk membatalkan sidang itu kecuali menemui Lae Gortik. Lalu, mengajaknya berdamai dan mencabut tuntutannya.
Sayangnya, satu-satunya cara ampuh itu enggan dilakukan Wak Labu karena karakter keras kepalanya. Di tengah pesta meriah, tak disengaja, Wak Labu dan Lae Gortik bertemu. Dengan menyembunyikan rasa kebimbangannya, Wak Labu bersandiwara seolah tak ada masalah dengan tuntutan Lae Gortik. Keduanya pun terlibat percekcokan.
Wak Labu: Sampai kapan pun aku tak minta maaf ke kau Lae Gortik.
Lae Gortik: Aku pun tak butuh itu Wak Labu.
Wak Labu: Kau kiranya aku taku ya.
Lae Gortik: Bukan urusanku kau takut atau tidak.
Wak Labu: Biar kau tau Lae Gortik. Keras batu, lebih keras kepalaku.
Lae Gortik: Bah….baru tahu aku.
Wak Labu: Gak Percaya? Ni palu,-Wak Labu melangkah mengambil palu di atas meja hidangan makan pesta, lalu menyodorkannya kepada Lae Gortik- pukul kepalaku.
Lae Gortik: Nanti bocor kepala kau.
Wak Labu: Sudahlah kau coba saja. Kau cobalah.
Lae Gortik: Tak usah kau desak. Aku tak akan mau kalau mukul kepalamu.
Wak Labu: Kenapa… takut kau?.
Lae Gortik: Bukan takut, tapi tak ada gunanya.
Wak Labu: Kok tak ada gunanya? Biar tahu kau di kepalaku ini semua jalan pikirinku. Semua sudah kupikirkan dengan keras.
Lae Gortik: Ah…. aku tetap gak mau memukul kepalamu. Karena kepalamu kepala batu. Kalau kau mau, sini dengkulmu biar kupukul. Karena otakmu bukan di kepala. Tapi di dengkul.”
Wak Labu tak bisa menjawab. Hanya tertunduk malu, sambil berlalu dari hadapan Lae Gortik. (****)