Di mata publik, Wak Labu sosok yang serakah dan sombong. Sekali pun hartanya berlimpah ruah, tapi yang namanya sedekah, seolah haram baginya. Buang angin saja sekali pun baunya luar biasa, Wak Labu takkan rela memberikan bau itu tercium orang lain.
Parahkan!. Nah, sudah segitunyalah tingkat penafsiran orang terhadap kadar pelit, tolu batu, bahil bin bedekutnya Wak Labu. Gak heranlah kalau keluar rumah, Wak Labu paling takut bertemu orang susah. “Nanti, koyak juga uang awak,” begitu prinsip di hatinya.
Pas masuk tanggal muda, Wak Labu mulai cari akal untuk mencari orang tuk memungut pajak dari para penyewa lapak di pasar tradisional miliknya. Seperti biasa, jika langsung Wak Labu yang turun memungut pajak para pedagang, bukan saja banyak meminta uangadanya, tapi harus banyak mendengar keluh kesah dari para pedagaang. Ada yang minta kepastian agar lapaknya tidak dipindah sana dipindah sini, ada pula yang minta ditambahkan sarana prasarana memadai. Sampai-sampai, tak sedikit yang memohon undur waktu pembayaran segala.
Tak mau pusing, disuruhnya lah si Derket (preman) yang mengutip uang sewa lapak tersebut. Setelah si Derket pergi, Wak Labu menunggu di seberang pasar sambil ngopi. Tak disangka, di warun kopi, Wak Labu bertemu dengan Lae Gortik.
Wak Labu : Bah, di sini kau Lae Gortik.
Lae Gortik : (menoleh sebentar lalu berpaling) Ho,,oh.
Wak Labu : Kapannya-sambil melangkah ke dekat meja Lae Gortik dan menyodorkan tangan minta berjabatan-kita berdamai Lae.
Lae Gortik : (menepis tangan Wak Labu) Kan dah kubilang. Minta maaf dulu kau sama orang-orang yang kau sakiti.
Wak Labu : Inikan masalah kita berduanya Lae. Ngapain kaitkan ke yang lain.
Lae Gortik : Ya sudah kalau kau tak mau.
Wak Labu : Iya Lea. Aku kan udah bilang juga, minta maaf itu pantanganku. Malas aku minta-minta maaf.
Lae Gortik : Itulah otak dengkul kali kau. Pedagang pun sekarang sakit hati sama kau karena kau peras orang itu. Sekarang, itu… ko lihat itu-sambil menunjuk ke arah luar warung-mereka sudah datang.
Begitu menoleh ke arah luar warung, betapa terkejutnya Wak Labu melihat para pedagang yang datang ke warung hendak menemuinya. Karena ramai sekali, Wak Labu memilih lari meninggalkan Lae Gortik. “Waduh… cabutlah aku. Ngadapin pedagang, manalah sanggup aku,” kata Wak Labu seraya berlari disusul lemparan batu para pedagang yang mengejarnya. (Ung)